
Seminar Nasional
Undang-Undang Desa
Tema:
UU Desa 2014: Peluang bagi Inklusi Difabel
PENDAHULUAN: Perubahan UU Desa dan Implikasinya di Desa
Dengan berbagai kelemahan dan kekurangannya, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah No. 43/2014 serta PP No. 60/2014, sudah akan diimplementasikan tahun 2015. UU dan PP ini dipastikan akan mengubah Tata Kelola Desa dan memberi kepastian terhadap keberadaan Desa. Menurut UU ini, Desa akan memiliki satu perencanaan dan satu sistem anggaran, sekaligus mengubah paradigma pembangunan dari masyarakat pemerakarsa pembangunan (Community Driven Development) menjadi Desa sebagai pemrakarsa pembangunan (Village Driven Development). Pembangunan perdesaan menurut UU ini harus bersifat kawasan lintas desa, di mana negara melakukan investasi yang berorientasi untuk memperbesar skala ekonomi desa, meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi serta menyediakan lapangan pekerjaan.
UU Desa secara eksplisit menyebutkan peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar (kesehatan dan pendidikan) sebagai salah satu prioritas pembangunan (Pasal 80 ayat 4), di samping Pengembangan ekonomi desa berskala produksi. Berbeda dengan UU sebelumnya, UU Desa secara jelas menganut sifat inklusif terhadap berbagai macam pengelompokan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan cakupan kelompok-kelompok di desa yang luas di mana tentu saja dalam hal ini mencakup warga dengan disabilitas, maka hal itu berarti desa mesti menyiapkan suatu sistem perencanaan pembangunan yang berangkat dari semangat inklusi dan partisipasi yang luas. Selain itu, desa juga sudah seyogianya memiliki Sistem Informasi Desa (SID) yang berguna bagi warga dengan berbagai kebutuhan dan pemerintahan desa dalam penyusunan dokumen perencanaan [pembangunan] desa yang inklusif.
Untuk merealisasikan peran desa dalam perencanaan desa inklusif dan pembiayaan program pembangunan secara berkelanjutan, UU Desa mengamanatkan Dana Desa yang bersumber dari APBN, APBD, Dana Bagi Hasil Pajak dan memberi kewenangan kepada desa untuk mengembangkan Pendapatan Asli Desa yang terdiri dari hasil usaha, pengelolaan aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa. Hal ini membuka peluang bagi desa untuk mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dan bentuk pelayanan desa lainnya yang berkontribusi pada meningkatnay pendapatan desa.
Dalam proses perumusan perencanaan pembangunan desa, lembaga-lembaga desa akan mendapat dukungan dari kader desa dari pihak desa dan pendamping desa yang professional dari pihak luar desa. Tetapi di sisi lain, masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa (Pasal 68, ayat 1, huruf a).
Peluang Membangun Desa Inklusi:
Implikasi penerapan UU Desa, seperti telah diuraikan sebelumnya, di satu pihak memberi peluang kepada desa untuk menata ulang sistem pemerintahan desa, mengembangkan lembaga-lembaga desa dan memaksimalkan pengelolaan sumberdaya desa, khususnya dalam hal ini pemerintahan desa inklusi. Di pihak lain, UU Desa membuka peluang bagi masyarakat hukum adat untuk mendirikan Desa Adat dengan sebelumnya menginventarisasi seluruh kondisionalitas sebagai masyarakat hukum adat untuk diajukan sebagai prasyarat penetapan desa menjadi Desa Adat. Semua perubahan ini punya potensi untuk membawa desa/desa adat menjadi desa yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, bermartabat secara budaya dan bertenaga secara sosial. Sayangnya, masih sangat sedikit masyarakat maupun pemerintah desa yang paham substansi UU Desa ini apalagi mengimplementasikannya.
Jika dilihat dari pendekatan, metode dan arah dari pembangunan masyarakat yang diamanatkan UU Desa, sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar baru. Bahkan boleh dikatakan, dalam beberapa hal, telah dipraktikkan oleh Pemerintah Desa di beberapa daerah dengan dukungan dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).
Berdasarkan perubahan regulasi di atas, maka dalam menindaklanjuti perubahan regulasi mengenai desa, pihak-pihak yang akan bekerja di desa perlu memadukan peluang-peluang dalam regulasi baru dengan kapasitas Jaringan yang telah tersedia serta Model Pengorganisasian Desa yang sejauh ini terbukti dapat membawa perubahan penting dalam desa (kawasan Perdesaan) sebagaimana juga menjadi amanat dari UU Desa, yakni membangun kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat desa.
Melihat peluang pembangunan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Desa, maka perlu kiranya melaksanakan Diskusi Desa berkaitan dengan UU Desa yang baru dan khususnya berkaitan dengan bagaimana desa membangun perspektif disabilitas dalam tata kelola desa.
Waktu dan Tempat
1. Waktu : Jum’at, 19 Desember 2014
2. Tempat : Balai Desa Sendang Tirto, Berbah, Kabupaten Sleman
Tujuan Diskusi Desa:
- Mendiskusikan Implikasi UU Desa No. 6 Tahun 2014 terhadap Tata Kelola Pemerintahan dan Pembangunan Desa Inklusi.
- Mendiskusikan pentingnya perspektif difabilitas dalam aspek kewenangan desa dan pelaksanaan Musyawarah Desa.
- Mendiskusikan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam membangun desa dengan perspektif inklusi dan difabilitas.
1. Kelembagaan
Melihat praktik penyelenggaraan Pemerintah Desa saat ini, tim perumus UU Desa sendiri mengakui bahwa lembaga-lembaga desa memerlukan: (1) Penguatan Peran, Fungsi, dan Tanggung Jawab Lembaga-Lembaga Desa Terhadap Publik. (2) Menambah Fungsi Khusus Pemerintah Desa yang Mengatur Kerjasama, khususnya kerjasama antar desa dalam konteks pengelolaan sumberdaya kolektif.
2. Tatakelola
UU Desa menjunjung tinggi Fungsi Musyawarah Desa, dan dengan memanfaatkan fungsi tersebut OMS dan khususnya Organisasi Penyadang Disabilitas dan Organisasi Masyarakat lainnya yang peduli pada isu difabilitas dapat berkontribusi pada upaya penguatan kualitas Musyawarah Desa dengan mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan: (1) terwujudnya Musyawarah Desa yang Inklusif dan Partisipatif; (2) Tersedianya sejumlah Dokumen Perencanaan Desa (RPJMDesa, RKPDesa, Rencana Tata Ruang Desa, dan Pangkalan Data Desa yang menyediakan data desa berbasis kebutuhan disabilitas); (3) Membangun Sistem Informasi Desa yang aksesibel dan inklusif.
3. Sumberdaya Desa
UU Desa menjamin kemandirian desa melalui dua asas Pengaturan Desa, yakni asas Rekognisi dan Subsidiaritas. Kedua asas ini membutuhkan kekuatan desa dalam ketersediaan aktor desa yang memiliki prakarsa yang kuat membangun desa berdasarkan Sumberdaya Desa. Untuk itu, Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan sumberdaya desa adalah melalui: (1) Terciptanya Sistem Pendidikan Penyadaran bagi aktor-aktor Desa (khususnya Kader dan Pendamping desa) yang menghargai keunikan desa dan karakter warga desa khususnya warga dengan disabilitas; (2) Penginventarisasian Sumberdaya Desa, khususnya dalam hal ini ketika ide mengubah cara berpikir aktor desa bahwa warga difabel adalah sebagai aset desa dan bukan beban desa; dan (3) Pemanfaatan sumberdaya desa oleh Desa untuk kepentingan masyarakat desa seluruhnya tanpa kecuali.
Narasumber:
1. Yando Zakaria (Ahli Pembangunan Desa)
2. Dr. Ir. Sujana Royat DEA (Senior Advisor PNPM Peduli)
3. Ahmad Mukhowam (anggota DPR RI)
Moderator:
- Farid