
DISKUSI
MEMULAI INISIATIF DAERAH UNTUK MEMBANGUN KOTA/KABUPATEN INKLUSI
TEMA:
PELUANG DAN TANTANGAN DAERAH DALAM MEMBANGUN KONSEP PEMBANGUNAN INKLUSI
Pengantar
Regulasi baru pengaturan Tata Kelola Pemerintahan daerah sudah disahkan menjadi UU No. 23 tahun 2014. Undang-undang ini merupakan revisi atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah tidak relevan lagi berdasarkan perkembangan sosial kemasyarakatan di sejumlah daerah. Selain itu, muatan pengaturan desa sudah berdiri sendiri, tidak lagi menjadi bagian dalam satu regulasi sebagaimana pada UU Pemerintahan daerah sebelumnya. Kini desa sudah diatur secara khusus dalam UU No. 6 tahun 2014 di mana desa sudah memiliki kemandirian dalam mengurus masyarakat maupun tata pemerintahannya, berdasarkan dua hak utama, yakni hak asal-usul dan hak subsidiaritas.
UU Pemerintahan Daerah yang baru menimbang dua hal dalam kepengaturannya. Pertama, penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Kedua dasar pertimbangan di atas menjadi penting, khususnya jika tata kelola pemerintahan daerah dikaitkan dengan kondisi objektif yang dihadapi oleh warga difabel baik berkaitan dengan persoalan-persoalan individu, antar individu dalam masyarakat, antar individu atau warga dengan layanan pemerintah dan seterusnya.
Sebagaimana hasil diskusi sejumlah organisasi difabel beberapa waktu lalu menjelang pemilihan Presiden dan wakil Presiden, ada sejumlah kondisi objektif yang dihadapi oleh warga difabel. Beberapa diantaranya adalah:
Pertama, Soal Keakuratan Data Disabilitas di Indonesia. Sejumlah data menunjukkan, bahwa jumlah warga negara difabel cukup besar, yakni 10% dari total populasi (TNP2K 2012) dan dalam versi lain ada lebih 15% di setiap negara berkembang seperti Indonesia (‘World Report on Disability [WHO 2012]). Sayangnya, gambaran data mengenai difabilitas/disabilitas/kecacatan di Indonesia tidaklah seragam di tiap kementerian sampai daerah. Dengan konsep dan terminologi yang berbeda-beda: BPS, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Sosial beserta institusi di bawahnya hingga ke kabupaten dan kota masing-masing menunjukkan data yang tidak seragam atau setidaknya melenceng dari kebenaran objektif. Hal ini kemudian menimbulkan kesulitan mencari acuan bagi formulasi atau penyusunan kebijakan sosial (pusat maupun daerah) yang tepat sasaran.
Data lain menunjukkan, ada sekitar 60% Difabel di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (PPLS, 2011). Tingginya angka kemiskinan ini bisa disebabkan [oleh] dan berdampak [pada] beberapa hal. Memang, dalam sejumlah literatur sosial menyebutkan bahwa ‘disabilitas seseorang cenderung membawanya kepada kemiskinan, di sisi lain kemiskinan dapat mengarahkan orang menjadi difabel dan menjadi bagian dari disabilitas’. Beberapa isu mendasar, seperti kurangnya ‘ketersediaan lapangan kerja’, masih adanya ‘cap miring’, dan praktik ‘pembedaan’ secara struktural dan budaya masih menjadi hambatan atas akses lapangan kerja bagi Difabel.
Kedua, terkait dengan Layanan Publik bagi difabel. Pada dunia pendidikan misalnya, di mana sistem ‘pendidikan inklusi’ belum sepenuhnya diberlakukan di sekolah-sekolah serta pendidikan tinggi secara menyeluruh. Akibatnya adalah baru sekitar 10% anak-anak Difabel usia pendidikan tertampung di sekolah. Di tambah lagi, masih belum tegasnya ‘payung hukum pendidikan’ yang menyebabkan mudahnya terjadi penolakan atas difabel. Pada 2013, SIGAB memperoleh pengaduan dari 12 keluarga difabel yang anak difabelnya ditolak mendaftar ke sekolah umum karena difabilitas mereka.
Pun demikian di bidang kesehatan masih menyisakan sejumlah soal. Kaitan erat antara Difabel dengan jenis tertentu dengan ‘kebutuhan medis’nya ternyata belum terjawab lewat ‘layanan serta jaminan kesehatan’ yang memadai. Sejumlah data menunjukkan, bahwa mayoritas Difabel yang memiliki pendapatan ekonomi di atas ketentuan ‘garis kemiskinan’ tidak berhak memperoeh bantuan iuran ‘Jaminan Kesehatan Nasional’ (SJSN – JKN). Padahal, di sisi lain, sebagai difabel, seseorang yang memiliki pendapatan di atas rata-rata pendapatan orang miskin namun ‘memiliki kerentanan sosial dan ekonomi’ seharusnya tetap berhak memperoleh bantuan sosial. Sejauh ini, sistem sosial negeri ini hanya ‘menjamin mereka yang miskin secara ekonomi’.
Terkait difabel yang berhak namun tidak memperoleh jaminan sosial, Hasil investigasi SIGAB (2013) menunjukkan ada sekitar 1083 Difabel dan keluarganya tidak memperoleh jaminan sementara kondisi sosial ekonomi mereka ‘sangat rentan’. Dalam konteks yang lebih luas, partisipasi sosial, politik dan publik masyarakat Difabel di negeri ini juga masih terhambat baik di level lingkungan (baik fisik maupun non fisik), perlakuan, serta kebijakan yang masih banyak yang belum berperspektif Difabel dan secara umum belum Inklusi. Lihat saja realitas Pemilihan Umum Anggota Legislator yang jauh dari Akses. Alat Bantu Mencoblos bagi ‘difabel buta’ tidak tersedia. Informasi bagi ‘pemilih tuli dan bisu’ jauh dari memadai, desain TPS yang tak menghargai difabel daksa, dan banyak lagi kelemahan lain menyebabkan pelaksanaan Pemilu bagi difabel kurang bermakna.
Berdasarkan analisis dari tim riset Sigab dan organisasi difabel lainnya, akar masalah dari peminggiran warga difabel dalam proses pembangunan adalah pemahaman ‘disabilitas’ yang keliru yang diidap baik oleh para pimpinan negeri maupun daerah ini, pejabat publik, guru, politisi, pelaku media, ulama/tokoh agama dan kaum cendekia, tokoh masyarakat, bahkan orang tua di rumah keluarga difabel sekalipun. Keliru menganggap difabel selama-lamanya adalah warga yang “bermasalah” dan tidak dianggap sebagai orang yang memiliki kemampuan sehingga sebenarnya warga difabel adalah aset daerah yang bisa berkontribusi lebih luas dari sekadar dijadikan “objek bantuan” atau charity belaka.
Untuk itu membersihkan pemahaman bahwa difabel adalah orang sakit, harus dikasihani, harus dibantu, harus dimaklumi, harus direhab, dan seterusnya harus segera ditinggalkan. Sebaliknya, difabel sudah mesti dipandang sebagai warga yang tidak berbeda dengan warga negara lainnya sehingga berhak mendapatkan hak-hak sosial, budaya, ekonomi, dan politiknya dalam proses pembangunan negeri ini.
Berdasarkan kondisi objektif di atas, maka diskusi ini kemudian memiliki relevansinya. Bagaimana pemerintah daerah menyikapi kondisi obejktif tersebut di atas, bagaimana pula strategi pemerintah daerah dalam membangun daerah yang nyaman bukan saja bagi difabel namun bagi warga negara secara keseluruhan, serta bagaimana desain kelembagaan yang tersedia berdasarkan UU Pemerintahan Daerah dan kaitannya dengan Kementerian Dalam Negeri terkait isu-isu Layanan Publik di daerah bahkan di desa di mana sesungguhnya secara geografis dan administratif warga negara bermukim.
Tujuan
- Mendiskusikan Peluang dan Tantangan bagi Pemerintah daerah, khususnya terkait dengan UU Pemerintahan Daerah yang baru terkait dengan membangun daerah Inklusi atau daerah yang nyaman bagi warganya.
- Berbagi pengalaman dari daerah-daerah yang memiliki kebijakan terkait, dalam hal ini Kabupaten Wonosobo (Daerah Ramah HAM) dan Kabupaten Sleman (Pencapaian target MDGs 2015)
- Mendiskusikan desain kelembagaan yang tersedia berdasarkan UU Pemerintahan Daerah dan kaitannya dengan Kementerian Dalam Negeri terkait isu-isu Layanan Publik di daerah bahkan di desa di mana sesungguhnya secara geografis dan administratif warga negara bermukim.
Narasumber dan Moderator
Narasumber:
- H.A. Kholiq Arif, M.Si (Bupati Wonosobo)
- Yuni Satia Rahayu, S.S, M.Hum (Wakil Bupati Sleman)
- Bito Wikantosa, S.Sos. M.Phil ( Dirjen PMD Kemendagri )
Moderator:
Sinam M. Sutarno (JRKI)
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Tempat : Aula Kantor Balai Desa Sendang Tirto, Kecamatan Berbah, Sleman
Waktu : 20 Desember 2014
: 13.30 – 15.30 wib