Workshop: Partisipasi Politik Difabel dalam PEMILU 2014

DISKUSI PEMILU 2014

APAKAH PEMILU 2014 SUDAH AKSES BAGI PEMILIH DIFABEL?

 

  • Pengantar

Pemilu 2014 untuk memilih anggota legislatif dan Presiden dan Wakil Presiden telah berlangsung. Banyak pihak menyatakan bahwa KPU dan Badan Pengawas Pemilu secara umum telah sukses menjalankan keseluruhan proses tersebut. Namun, kesuksesan itu masih jauh dari harapan jika pendapat pemilih difabel yang didengarkan. Dari segi data statistik, jumlah difabel di atas 10% dari total penduduk Indonesia. Jika secara sederhana kita mengasumsikan bahwa jumlah yang sama bisa disematkan kepada total jumlah pemilih di Indonesia berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berjumlah 185.822.507 maka 10 persen diantaranya adalah pemilih difabel dengan jumlah kisaran 18 juta lebih pemilih.

Jumlah pemilih difabel ini tersebar di seluruh wilayah di Indonesia atau di banyak TPS di setiap desa. Maka, pertanyaan yang menjadi tema diskusi di atas benar-benar relevan untuk diajukan, “Apakah Pemilu 2014 sudah akses bagi pemilih difabel?”

Dalam laporan pemantauan yang dilaksanakan oleh SIGAB dan mitranya, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif, berbagai hambatan secara nyata terlihat dan masih dirasakan oleh pemilih difabel. Sebutlah ada empat jenis hambatan yang sudah umum diketahui disamping hambatan-hambatan lainnya di luar 4 kategorisasi tersebut.

Pertama, Hambatan Legal, di mana masih ada praktik diskriminasi bahkan eksklusi bagi difabel untuk menjadi calon legislator maupun pemilih. Kategori sehat jasmani dan rohani masih dipahami secara dangkal oleh pelaksana kebijakan di tingkat bawah. Kondisi fisik dan mental seseorang yang secara medik dianggap tidak lengkap serta merta didefinisikan sebagai sakit atau tidak sehat jasmani. Padahal, seorang difabel daksa misalnya, tidak lagi dapat dikategorikan sakit ketika secara medik sebenarnya telah sembuh. Dalam pengertian lain, butanya mata seseorang tidak serta merta ia adalah insan yang tidak sehat, melainkan ia hanya buta namun ia memiliki sejumlah kecakapan yang secara umum orang mengandalkan pada kemampuan penglihatannya, yakni mata. Akibat pemahaman yang dangkal ini soal sehat jasmani dan rohani, maka difabel sebagai warga negara yang memiliki hak politik pun terkucilkan dari proses politik demokratis.

Kedua, Hambatan Informasi, di mana pelaksana pemilu tidak menyadari bahwa kemampuan orang tidak seluruhnya sama sehingga desain informasi tidak boleh hanya diutamakan bagi warga secara umum. Tetap diperlukan teknis khusus atau kreasi khusus agar pemilih secara keseluruhan dapat mengakses semua hal berkaitan dengan pemilu. Informasi ini mengalir dari sejak persiapan pemilu sampai pada akhir pemilu saat para kandidat terpilih. Jika ada saja fase di mana informasi tersebut tidak aksesibel bagi pemilih, maka tidak sempurnalah pelaksanaan pesta demokrasi ini.

Ketiga, Hambatan fisik, di mana akses pemilih difabel terhadap lembaga pelaksana pemilu dari berbagai tingkatan terhambat karena desain bangunan dan interior tidak ramah kepada pemilih difabel. Hal sama juga terjadi di lembaga lain semisal partai politik dan kantor DPR/D. Hambatan fisik ini semakin terasa menghambat pemilih difabel saat sosialisasi pemilu melalui pertemuan tertutup di mana akses menuju gedung dan selama di gedung menyulitkan difabel. Hal sama juga terjadi dalam proses pencoblosan di mana TPS-TPS jauh dari terjangkau dan kesadaran anggota KPPS akan perspektif difabilitas amat rendah. Berdasarkan pantauan aktifis difabel di sejumlah TPS di empat provinsi ragam hambatan di TPS tampak seperti lokasi berundak-undak, berlantai tanah yang becek, tanpa titian penghubung, dan seterusnya.

 Keempat, Hambatan Mental, di mana pihak pelaksana pemilu masih belum secara serius keluar dari mentalitas yang menganggap difabel sebagai warga negara yang mampu dan memiliki hak untuk terlibat dalam proses-proses politik. Kelemahan sikap pelaksana itu berimplikasi misalnya pada saat pendaftaran pemilih di mana pemilih difabel tidak didata secara detail dan lengkap jenis disabilitasnya. Data lengkap tentu akan berharga bagi pelaksana pemilu lainnya semisal pengelola TPS, walaupun kelengkapan data sesungguhnya tidak serta merta membuat mereka mendesain TPS secara aksesibel. Ada sejumlah indikator lain, semisal minimnya penganggaran untuk membangun TPS akses dan Kertas suara akses bagi difabel. Hambatan mental lain, sesungguhnya juga masih menjangkit pada keluarga di mana ada anggota rumah tangga yang difabel. Sebagian kepala keluarga atau yang bertanggungjawab dalam keluarga itu justru menapikan pentingnya anggota keluarga difabel yang memenuhi syarat untuk didaftarkan. Akhirnya mereka menjadi tidak terdata. Kalaupun terdata atau terdaftar, hambatan mental bahwa difabel hanya beban sosial bagi masyarakat membuat difabel merasa berat hati hadir ke TPS atau even lain dalam keseluruhan proses pemilu.

Dari 4 hambatan itu, ada banyak cerita dari hasil pemantauan pemilu sebagaimana dilakukan oleh SIGAB. Di luar itu, ada banyak lagi cerita mengenai hambatan-hambatan ini. Untuk itu, demi mengetahui masukan lain dari pengalaman pemilih difabel dan mendiskusikan langkah-langkah memperbaiki sistem pemilu agar lebih aksesibel dan inklusif, maka diskusi ini layak digelar.

  • Tujuan
  1. Mengidentifikasi jenis-jenis hambatan pemilih difabel dalam mengikuti keseluruhan proses Pemilu 2014
  2. Mengidentifikasi tantangan-tantang yang dihadapi pelaksana Pemilu dalam melaksanakan pemilu 2014 yang aksesibel dan inklusif
  3. Menemukan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan sistem pemilu yang masih belum akses dan inklusif di masa mendatang.

 

  • Narasumber dan Moderator
    • Doddy Kaliri (aktifis difabel, Sleman); Refleksi pengalaman pemilih difabel.
    • Huda Tri Yudiana (anggota DPRD Yogyakarta); refleksi pengalaman memperjuangkan kepentingan difabel.
    • Sigit Pamungkas (anggota KPU-RI); refleksi pengalaman melaksanakan pemilu tingkat nasional. (konfirmasi)
    • Sri Surani Pribadi (Anggota KPU Daerah Yogyakarta); refleksi pengalaman melaksanakan pemilu tingkat daerah.
    • Abd. Rahman,  (aktifis difabel,Makassar); Refleksi pengalaman pemilih difabel.

–   Moderator:  Hendro Sugiyono Wibowo

 

  • Tempat

Aula Kantor Desa Sendang Tirto, Kecamatan Berbah, Sleman

  • Waktu

Hari/Tanggal                         : Sabtu,  20 Desember 2014

Pukul                                       :   09.00 – 12.00 wib