
Zaman yang semakin canggih telah mengantarkan manusia memiliki kemudahan mendapat akses informasi. Tak hanya mendapatkan informasi atau berita, masyarakat, yang bukan pekerja media pun bisa mewartakan sebuah peristiwa. Kita bisa lihat fenomena semacam itu di sosial media seperti Facebook atau Twitter. Tidak sedikit dari pengguna sosial media memberikan informasi tentang suatu peristiwa yang tengah ia alami atau peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Munculnya fenomena di atas melahirkan suatu istilah yang cukup populer yaitu citizen journalism atau jurnalisme warga. Masyarakat kemudian bisa melakukan kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi. Di Indonesia sendiri, sejarah jurnalisme warga muncul saat tragedi Tsunami di Aceh terjadi pada 2004 silam. Saat itu, korban merekam langsung kejadian dahsyat itu dengan handphone dan handycam. Hasilnya justru mengalahkan berita-berita yang dimuat media lokal maupun nasional.
Setelah jurnalisme warga cukup populer, kini muncul lagi istilah yang lain yaitu jurnalisme inklusi. Sebelum jauh mendiskusikan tentang jurnalisme inklusi, perlu dipahami dulu makna jurnalisme dan inklusi secara sendiri-sendiri.
Tom Friedman dari New York Times seperti yang ditulis oleh Luwi Ishwara dalam bukunya yang berjudul ‘Catatan-catatan Jurnalisme Dasar’ menuliskan skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. Skeptis. Itulah ciri-ciri jurnlisme. Bagi orang-orang yang memiliki sikap skeptis, akan mudah baginya melahirkan produk informasi. Pada poin ini, pewarta diharapkan memiliki dorongan untuk mengenal difabel sebelum menulis tentang difabel.
Sementara istilah inklusi bermakna ikut diperhitungkan atau dilibatkan. Sebetulnya, istilah inklusi bisa mengikuti istilah-istilah lainnya seperti dalam perekonomian, keuangan, dll. Namun, istilah inklusi atau inklusif ini lebih sering terdengar dan menempel pada aspek kehidupan difabel. Hal itu tentunya tidak terlepas dari kurang diperhitungkannya keberadaan difabel di tengah-tengah masyatakat. Sebetulnya, kita tidak perlu melabelkan kata ‘inklusi’ pada difabel karena pada dasarnya, jika sistem pembangunan di tengah masyarakat bisa memberi akses bagi difabel, dengan sendirinya difabel akan menjalani kemandiriannya.
Wujudkan Perubahan
Dengan kemandirian yang dimiliki, maka masyarakat dengam sendirinya tidak menaruh rasa kasihan kepada difabel. Difabel bisa bersekolah di mana saja. Memiliki peluang kerja. Mendapatkan hak-haknya. Dengan begitu, orang tidak lagi melihat inklusi adalah bagian difabel. Saat ini, jika orang mendengar istilah sekolah inklusi, pikirannya tertuju kalau di sekolah itu ada siswa berkebutuhan khusus atau difabel. Lantas, untuk mendorong perubahan itu, pada titik inilah jurnalisme inklusi memiliki peran besar.
Jurnalisme mendorong perubahan. Dalam pengertian yang luas, perubahan memang hukum utama jurnalisme. Seperti yang dituliskan Bill Kovach dan Tom Rosentiel, kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran. Memang benar jika saat ini kehidupan difabel sangat jauh dari pemenuhan hak-haknya. Namun sayangnya, media atau wartawan masih belum melihat kompleksitas kehidupan difabel sebagai isu yang seksi. Dalam hal ini, jurnalisme inklusi berperan penting mendorong perubahan persepsi masyarakat terhadap difabel. Melalui jurnalisme inklusi, masyarakat diharapkan bisa mengubah persepsinya tentang keberadaan difabel yang dianggap kutukan, kecacatan maupun perlu dikasihani.
Melalui pewartaan yang benar, sesuai fakta, berimbang dan penggunaan istilah-istilah tepat pada difabel, pembaca secara perlahan akan memahami dengan baik konsep atau persepsi difabel. Setidaknya, bagi mereka difabel bukan cacat. Itu sudah menjadi suatu keberhasilan tersendiri.
Sebelum orang menulis dengan baik isu difabel, tentunya terlebih dahulu penulis memahami persepsi difabel dengan baik dan benar. Tanpa memahami dengan baik dan benar, bisa menjadi boomerang yang membahayakan. Istilah satu kata saja dalam berita bisa membuat makna terasa berbeda secara luas. Seperti yang disampaikan general menejer majalahdiffa.com Jonna Aman Damanik saat acar Temu Inklusi di Yogyakarta, kata ‘meski’ membuat difabel seakan-akan tidak umum jika melakukan suatu hal. Misal: “Meski menggunakan kursi roda, Bejo, difabel daksa itu berhasil mengelilingi desa kelahirannya”. Memangnya kenapa kalau mengelilingi sebuah desa dengan kursi roda? Bukankah sama saja mengililingi desa dengan jalan kaki? Karena pada hakikatnya, kursi roda adalah kaki bagi difabel daksa.
Dalam jurnalisme inklusi, yang bertugas mewartakan isu difabel bukan hanya nondifabel. Difabel pun memiliki tanggungjawab memberikan edukasi karena dia menjalankan langsung kehidupannya sebagai difabel. Pengalaman saya meliput isu difabel, sering saya jumpai difabel memandang sinis kepada profesi saya sebagai wartawan. Setelah memiliki kedekatan, terkuaklah alasan mereka kenapa berikap seperti itu. Mereka takut kalau kehidupannya yang rumit diberitakan. Mereka khawatir orang menjauhi dia karena baca kisahnya. Sementara di sisi lain, difabel tidak berperan memberi edukasi kepada juru warta sehingga tidak menjadi masalah kalau wartawan menulis istilah cacat dalam beritanya. Difabel seharusnya memiliki keterbukaan dengan wartawan. Sebelum melakukan peliputan atau wawancara, difabel bisa menyampaikan sebuah pandangan sederhana kepada wartawan tentang difabel. Seperti yang saya tulis sebelumya, setidaknya wartawan tidak menulis kalau difabel adalah orang cacat! Namun sebaliknya, jika difabel terus menutup diri, maka akan sulit tercapai tujuan jurnalisme inklusi.
Kini, jurnalisme inklusi telah hadir di tengah-tengah kita sebagai wadah persahabatan. Masyarakat bersahabat dengan difabel. Media bersahbat dengan difabel. Wartawan bersahabat dengan difabel. Dengan mengenal difabel, maka orang tidak perlu kaget jika menjumpai difabel keliling desa dengan kursi roda. Jurnalisme inklusi menjadi jembatan penghubung yang kuat di atas arus deras persepsi salah masyarakat kepada difabel saat ini. Difabel bukanlah cacat, difabel adalah bagian dari kita. “Nothing about us without us”.
Sumber: Solider, 28 Des 2014