
Membangun aksesibilitas, terutama bangunan dalam bentuk fisik bagi difabel ternyata tidak membutuhkan biaya mahal. Cukup dengan sentuhan inovasi, kreasi dan sedikit dana, akses untuk aktivitas warga difabel bisa terwujud. Sayang, hal itu masih terlalu sulit dilakukan oleh pemerintah maupun swasta
Materi yang dibawakan Wijang Wijanarko membakar dan mencerahkan puluhan warga difabel di sebuah rumah warga, Desa Gamelan, Kecamatan Berbah, Sleman, Yogyakarta, kemarin pagi.Itu rumah milik Poniran. Tidak begitu luas memang, tapi wawasan Wijang membedah aksesibilitas lebih luas. Ia menyampaikan bagaimana pemerintah terkesan abai membangun akses bagi difabel di ruang publik.
Seperti pusat perbelanjaan, kantor pemerintahan, perbankan hingga tempat ibadah. Ia pun mengajak warga untuk terus bergerak. Yakni menyuarakan kesetaraan akses pada semua orang, terutama mereka yang difabel.“Tak sulit membangun aksesibilitas difabel di ruang publik, “ kata Wijang. “Persoalannya ada pada maenset mereka,” tambahnya.
Wijang sendiri adalah akademisi Universitas Gajah Mada (UGM). Basic sains adalah teknik arsitektur. Pada kesempatan itu ia memaparkan bagaimana desain aksesibilitas yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2005 tentang bangunan gedung dan lingkungan.
Pada implementasi sudah jelas dijabarkan. Pada fasilitas toilet umum misalnya, di mana pada bibir kloset berdiri lebih tinggi atau di atas kepala warga difabel menggunakan kursi roda.Contoh lain pada desain teras perkantoran maupun gedung DPRD, pada banyak daerah masih senang membangun menggunakan bentuk tangga kecil. Pada kondisi itu jelas, warga pengguna kursi roda tidak bisa mengakses masuk gedung tersebut.
“Padahal apa salahnya bila mereka menyisakan sedikit ruang membangun jalur kursi roda. Bisa ditempatkan di kiri atau kanan bagian anak tangga,” tuturnya.
Dengan catatan jalur tersebut dirancang tidak terjal dan diberi gagang, dengan harapan agar tidak hanya pengguna kursi roda saja yang bisa mengakses, tetapi juga bisa diakses difabel menggunakan tongkat atau lansia.
“Apa salahnya mereka membangun fasilitas aksesibilitas. Toh mereka juga pasti akan membutuhkan fasilitas itu. Ingat, mereka juga pasti difabel bila sudah lansia. Termasuk kita juga yang ada di sini,” katanya.
Sebenarnya ada banyak contoh kasus lain. Seperti di depan mata bagaimana fasilitas publik abai warga disabilitas. Lihat saja pintu masuk stasiun kereta maupun desain halte bus yang sulit diakses para pengguna kursi roda. Lainnya seperti meja resepsionis hotel maupun perbankan.
Contoh paling nyata dan langsung di depan mata adalah pintu masuk rumah warga maupun kamar, di mana banyak si pemilik lebih merancang pintu rumah dengan ukuran lebar lebih kecil dari lebar kursi roda. Selain si pengguna kursi roda tidak bisa masuk, ukuran pintu yang sempit juga mengancam keselamatan mereka yang normal.
“Bayangkan kalau di daerah mereka ada gempa dan penghuni mau cepat ke luar rumah. Pasti mereka kesulitan keluar. Yang tidak bisa keluar justru mereka yang menggunakan kursi roda,” kata Wijang.
Tidak Butuh Biaya Besar
Membangun fasilitas aksesibilitas tidak membutuhkan biaya mahal. Wijang sendiri perah melakukan pendampingan daerah. Pembangunan itu dimulai dari sebuah perumahan warga di suatu daerah.Khusus untuk jalur kursi roda ia mendesain lintasan bukan dari bahan marmer atau porselen dengan harga mahal, tetapi cukup dengan menggunakan bahan papan sampiran dengan harga murah dan mudah diperoleh di toko bangunan.
Begitu juga dengan pemasangan gagang di jalur lintasan tersebut, ia justru memilih dari tepat guna, seperti bambu ketimbang menggunakan besi stainless. Termasuk lah pemasangan guiding block khusus untuk jalur tunanetra.Pada bagian lantai rumah, khusus pada jalur lintasan itu ia memasang batu bata bergelombang. Gunanya untuk membedakan jalur lintasan warga normal. Termasuk juga untuk tempat kloset dan pengambilan air wudhu yang dibuat mudah bagi para pengguna kursi roda.
“Untuk merancang bangunan sederhana itu sekitar tiga jutaan. Tidak mahal bukan,” tambahnya. Dana sebesar itu bisa menjadi kecil bila nantinya pemerintah menerapkan Undang-undang UDesa, di mana nominalnya mencapai miliaran rupiah.
Model seperti inilah yang dimaksud Wijang. Membangun akses aksesibilitas tidak membutuhkan biaya mahal. Dari bahan sederhana, para penyandang cacat bisa merasa lebih terbantu dengan bentuk model pembangunan seperti itu.
Bukan Persoalan Fisik
Dwiyanto dari Center of Improving Qualified Life of People with Disabilites (CIQAL) Yogyakarta. Lembaga ini dikenal sebagai lembaga pendampingan dan pemberdayaan warga difabel menambahkan. Menurutnya, model bangunan bersifat kesetaraan hanya bisa dicapai bilamana warga difabel sendiri yang bergerak memperjuangkannya.
Ia pun kemudian mengaitkan dengan Undang-undang Desa yang akan diimplementasikan pada 2015. Di mana pada tataran itu, ia mengajak warga difabel lebih melek dan terlibat aktif dalam pembahasan anggaran pada pertemuan Musyawarah Pembangunan (Musrembang) di tingkat desa. Termasuk lah dalam hal pengambilan keputusan maupun suara perwakilan warga difabel.
“Tujuannya adalah setiap pembangunan desa bisa memberikan kemudahan untuk warga penyandang catat dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta memperoleh pelayanan publik dan informasi di tempat tinggal mereka,” katanya.
Staf Handicap Nusa Tenggara Timur (NTT), Yuris, hari itu ikut dalam pertemuan itu menambahkan, selain memperjuangkan anggaran di tingkat desa, lembaga difabel juga mesti aktif mengawal anggaran di tingkat kabupaten. Itu sudah dilakukan di NTT.Di mana, sebelum pembahasan anggaran antara pemerintah dan DPRD, warga difabel lebih mendesak perwakilan rakyat mereka, yakni dewan untuk memperjuangkan alokasi anggaran aksesibilitas.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) difabel wilayah Jawa Imur, Wawa. Selain memperjuangkan anggaran dan fisik aksesibilitas, pendampingan hukum khusus untuk warga difabel juga mesti diperhatikan.
Terutama mereka yang menjadi korban bencana dan menjadi difabel. Dalam contoh kasus, seperti Yogyakarta misalnya, pasca gempa dan letusan Gunung Merapi, banyak warga bernasib difabel, terutama mereka yang sudah berkeluarga, kemudian ditinggal pasangannya karena dianggap cacat dan tidak produktif.
Ada yang gundah di antara peserta seminar tema aksesibilitas siang itu. Pada sebuah ruang dengan kursi peserta yang saling berhimpitan, sejumlah peserta menyampaikan kegelisahan, bagaimana aksesibilitas masih jauh dari harapan.Anggini, difabel tunarungu menyampaikan bagaimana saat ini, dengan perkembangan teknologi yang canggih, ia sama sekali belum merasa aman dalam menjalani hidup sehari-hari.
Begitu sebuah daerah terjadi gempa, dan Anggini berada di dalam rumah maupun hotel, informasi pencegahan dan evakuasi jelas tidak bisa diperoleh, karena tidak bisa mengakses informasi tersebut.
Hafid, seniman asal Solo tak lupa menceritakan pengalaman pahitnya. Di rumahnya yang kebetulan memiliki banyak koleksi buku, pada sebuah kesempatan didatangi warga difabel tunanetra yang ingin meminjam buku.Lokasi rak yang tinggi, si tamu tersebut tidak bisa menjangkau buku yang hendak diinginkan. “Jadi buku saya tumpahkan dan biarkan dia sendiri yang memilih,” tuturnya.
Oleh: Agus Wahyuni
Sumber: Solider. 28 Desember 2014