
Apa itu anak berkebutuhan khusus?. Selama ini pendidikan dan tata kelolanya cenderung melihat, memandang dan mengimplementasikan kebijakan dengan cara pandang yang seragam. Ketika regulasi untuk pendidikan umum maka semuanya diseragamkan dan demikian pula untuk anak berkebutuhan khusus, semua dilakukan dengan tanpa memandang arti yang jelas dari ‘kebutuhan khusus’ tersebut, karena kata ‘khusus’ cenderung diartikan juga sebagai ‘seragam yang khusus’ tanpa memperhatikan bahwa kebutuhan khusus membawa implikasi bahwa kebutuhan seseorang dengan orang lainnya itu berbeda, dan tidak bisa diseragamkan.
Apa yang diterima oleh anak berkebutuhan khusus?. Anak berkebutuhan khusus hingga saat ini mendapatkan perlakuan yang sama dan seragam. Perlakuan khusus kepada anak berkebutuhan khusus baik di sekolah, di masyarakat, di desa, maupun hingga di rumahnya sendiri adalah sama yaitu ‘diskriminasi’. Bukannya perlakuan khusus untuk membuatnya mandiri agar tidak memberatkan lingkungan, menjadi berbeda karena kekurangan, namun kenyataannya adalah mereka tidak menerima perlakuan sama sekali yang membuatnya bisa tumbuh menjadi anak, sebagaimana manusia lainnya.
Pada Kamis, 12 September 2013. Antaranews menuliskan di halaman beritanya dengan judul184 ribu anak berkebutuhan khusus belum nikmati pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh Mudjito, Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK) Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud di Trenggalek saat adanya Deklarasi Pendidikan Inklusif di Trenggalek, Jawa Timur. Selengkapnya :
Trenggalek (ANTARA News) – Sekitar 184.000 anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum menikmati indahnya pendidikan layaknya anak dengan kondisi mental dan fisik normal, demikian diungkap Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK) Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud, Mudjito, Rabu.
“Saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang yang telah tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif baru 116.000 anak dari total 300.000 anak, selebihnya masih di bawah asuhan orang tua masing-masing,” katanya saat menghadiri deklarasi pendidikan inklusif di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Ia memastikan, permasalahan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus akan diselesaikan secara bertahap, salah satunya melalui gerakan pendidikan inklusif yang digulirkan di bergai daerah se-Indonesia.
Mudjito mengaku optimistis permasalahan tersebut akan berkurang seiring peluncuran gerakan tersebut, mengingat masing-masing daerah memiliki komitmen yang kuat untuk bersama-sama untuk memecahkan permasalahan tersebut.
“Perkembangannya cukup bagus, dengan model (gerakan) seperti ini, yang oleh dinas pendidikan kemudian disapu, sekolah-sekolah semua melayani, dalam satu tahun itu perkembangannya bisa sampai 11 ribu anak yang sekolah,” katanya.
Dijelaskan, pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus memiliki problem yang cukup rumit, mulai dari tingkat keluarga, lingkungan hingga sekolah.
Kata dia, orang tua sering merasa minder dengan kondisi anaknya yang tidak sempurnya, seperti layaknya anak-anak yang lain.
Di sisi lain lingkungan sekitar rumah cenderung mendiskreditkan anak berkebutuhan khusus tersebut dan menganggap sebagai hal yang aneh.
“Sudut pandang semacam inilah yang harus kita hapus bersama-sama, makanya gerakan untuk memberikan pendidikan inklusif ini adalah salah satu caranya,” tandasnya.
Mudjito mengatakan, Kemendikbud tahun ini memberikan alokasi anggaran sebesar Rp900 juta untuk setiap daerah yang siap meluncurkan program pendidikan inklusi.
Anggaran tersebut, lanjut dia, digunakan untuk peningkatan kemampuan pendidik serta edukasi masyarakat.
Mudjito menambahkan, dengan dana itu dinas pendidikan di masing-masing daerah bakal melakukan sosialisasi kepada keluarga, masyarakat maupun sekolah dengan memberikan pemahaman bahwa semua anak memiliki hak serta posisi yang sama dalam dunia pendidikan.
Ke depan diharapkan tidak ada lagi diskriminasi, anak-anak kebutuhan khusus mendapatkan haknya untuk mengakses pendidikan yang layak.
Sebagaimana data di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga kini terdapat sedikitnya 25 kabupaten/kota yang telah menyatakan komitmennya untuk menuntaskan masalah pendidikan inklusif.
Setiap kabupaten tersebut mewajibkan beberapa sekolah yang ditunjuk untuk menerima siswa dengan kebutuhan khusus.
Mudjito mengklaim, tahun ini telah ada 40 kabupaten/kota yang siap untuk mengikuti program pengentasan pendidikan anak yang berkebutuhan khusus.
Entah data yang dikatakan orang itu benar atau tidak, namun dengan mengeluarkan angka yang jumlahnya ratusan ribu tersebut memang cukup mencengangkan. Pendataan tentang anak difabel, anak berkebutuhan khusus, anak penyandang disabilitas maupun sebutan lainnya memang berbeda-beda sementara berdasarkan TNP2K, jumlah warga dengan disabilitas cukup besar, 10% dari total populasi (TNP2K 2012). Versi lain adalah dari WHO yang menyebutkan ada lebih 15% di setiap negara berkembang seperti Indonesia (‘World Report on Disability [WHO 2012]). Data jumlah pasti pendduduk Indonesiapun sebenarnya hanya ‘wacana’.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Di masa lalu ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus ) diartikan sebagai anak yang tidak normal, tidak, sehat, cacat dan sebagainya serta hanya mencakup impairment, handicap, dan disability sehingga pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa, dan untuk anak normal pada sekolah-sekolah regular. Dalam perkembangannya ABK telah berkembang dalam pengertian yang lebih luas, yaitu anak yang mempunyai keterbatasan (impairment) penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive), anak dengan kesulitan belajar (learning disability atau spesific learning disability), dan anak dengan kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disabled children).
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus. Jadi ABK sekarang sudah berbeda dan termasuk didalamnya adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan dan kemampuan yang istimewa atau luar biasa, hal ini cenderung lebih mendekati filosofi dari kata ‘difabel’ atau ‘differently abled people’ atau orang dengan kemampuan yang berbeda.
Berdasarkan data dari Dirjen Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional (Maret 2010), jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sebanyak 324.000 orang. Dari jumlah tersebut, baru 75.000 anak yang bersekolah, sedangkan sisanya belum terpenuhi hak pendidikannya.
Berkaitan dengan penanganan anak berkebutuhan khusus Kementerian Pendidikan Nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dengan mengadakan sekolah inklusif. Namun dalam pelaksanaannya sekolah inklusif masih terkendala dengan sedikitnya sekolah reguler yang menyelenggarakan program ini dan terbatasnya guru pendamping bagi anak berkebutuhan khusus yang dapat mengajar disekolah inklusif.
Untuk anak-anak cerdas/berbakat istimewa yang jumlahnya sekitar 2,2 persen dari jumlah anak usia sekolah, baru sekitar 0,43 persen yang mendapatkan pendidikan dalam kelas-kelas akselerasi. Sekitar 1 juta anak cerdas/berbakat istimewa yang potensial untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, budaya dan bidang lainnya belum mendapatkan pendidikan yang merupakan hak mereka.
Permasalahan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus perlu ditangani secara serius oleh pemerintah dan masyarakat dalam rangka memenuhi hak penyandang cacat di bidang pendidikan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”; ayat (2) berbunyi “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”; ayat (4) “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. [ Permeneg PP&PA No.10 Tahun 2011 ]
Tentang Pendidikan Inklusif
- Pendidikan Inklusif adalah sistem pelayanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus dapat belajar dan terlayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon – Shevin dalam 0 Neil 1994 ).
- Sekolah inklusif adalah sekolah yang mendidik semua murid di kelas yang sama, tak ada pembedaan. Sekolah mampu menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, dan menyesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukugan yang dapat diberikan oleh para guru, sehingga anak-anak berhasil (Stainback, 1980).
Landasan Konstitusi Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak Difabel
- UUD 1945, Pasal 28 B Ayat 2, Pasal 28 B ayat H, dan Pasal 31 tentang Pendidikan.
- Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.
- Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyatakan setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
- pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
- pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; - perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati
hasil hasilnya; - aksebilitas dalam rangka kemandiriannya;
- rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;
dan - hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan
kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
- Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
- Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Bagi Anak yang Mempunyai Masalah.
- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Cacat.
- Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
- Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
- Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak).
- Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan Yang Berkeadilan.
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangun Gedung dan Lingkungan.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Mengapa Perlindungan dan Pendidikan bagi Anak Difabel Penting?
Berikut adalah alasan-alasan mengapa Perlindungan dan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) penting menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2011 tentang Kebijakan penanganan anak berkebutuhan khusus:
Anak berkebutuhan khusus pada hakikatnya merupakan manusia yang harus dipenuhi, dihargai, dilindungi hak asasinya serta dijunjung tinggi harkat dan martabatnya, sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pemenuhan hak termasuk pembinaan dan pengembangan, bukan hanya ditujukan bagi anak pada umumnya, tetapi juga bagi anak berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus termasuk didalamnya anak penyandang disabilitas adalah anak yang mengalami keterbatasan/keluarbiasaan baik fisik, mental intelektual, sosial dan emosional ini memerlukan pelayanan khusus dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah, agar anak-anak tersebut mendapat kesempatan berkembang sesuai dengan fisik, mental dan potensinya.
Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung menunjukkan peningkatan, namun data yang ada belum terdeteksi secara akurat. Hasil survei yang dilakukan Pusat Data dan Informasi Departemen Sosial Tahun 2007, populasi penyandang cacat sekitar 3,11% dari total penduduk Indonesia.
Anak berkebutuhan khusus memerlukan penanganan khusus. Karena penanganan anak berkebutuhan khusus tidak hanya kondisi fisik/kesehatan dan psikologis saja, tetapi diperlukan pula pemahaman tentang potensi mereka agar dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Hal tersebut meliputi pemilihan bentuk pendidikannya, hak hidup bermasyarakat, dan penanganan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menjadi warga negara yang mampu hidup mandiri, bertanggung jawab serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Penanganan anak berkebutuhan khusus perlu dilakukan sejak dini, bahkan sejak masih berada di dalam kandungan. Selain meliputi pemenuhan hak sipil dan kebebasan, hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak pendidikan, hak kesehatan dan kesejahteraan dasar, anak berkebutuhan khusus juga harus mendapatkan hak perlindungan khusus meliputi kesehatan, terapi dan rehabilitasi, pendidikan dan pelatihan, perlindungan hukum, serta pengembangan keterampilan hidup (life skill) untuk hidup mandiri.
[ Foto via Tempo ]