KH Muhammad Imam Aziz adalah salah satu pengusung pemikiran pembaharuan di Indoensia. Kyai Imam Aziz sudah aktif berjuang di NU sejak masih menjadi mahasiswa. Sejak masih aktif menjadi mahasiswa, ia sudah dikenal sebagai aktivis yang gigih mengawal pemikiran ke-NU-an. Sejak kecil, kiai Imam Aziz, sekolah dan belajar agama di Madrasah milik KH Ahmad Sahal Mahfudz, di kampung kelahirannya.
Lulus dari Pondok Pesantren yang diasuh oleh almarhum KH Sahal Mahfudz itu, kiai Imam Aziz melanjutkan aktivisme sosialnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta sejak tahun 1980-an. Kegelisahan tentang pemikiran Islam itulah yang mendasari pendirian Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Pada 1993, Imam Aziz mendirikan sebuah lembaga kajian pemikiran Islam yang dinamakan Lembaga Kajian Islam Sosial (LKIS).
Karena aktivitasnya dalam dunia pemikiran dan pengorganisasian, kiai Imam Aziz diganjar sejumlah penghargaan seperti Ashoka Fellowship pada 2003, tokoh multikultural oleh organisasi bernama Islamic Fair of Indonesia pada 2011 lalu. Penghargaan IFI diberikan kepada kiai Imam karena berhasil mendirikan dan mengembangkan Lembaga Kajian Islam (LKiS) di Yogyakarta. LKIS mengembangkan wacana keislaman yang transformatif dan toleran, khususnya melalui penerbitan ratusan bahkan ribuan judul buku yang konsisten dengan visi keislaman yang transformatif dan toleran.
Pada April 2015, sebagai aktivis HAM dan tokoh agama, kiai Imam Aziz juga diganjar penghargaan bergengsi dari sebuah lembaga di Korea Selatan, The Jeju 4.3 Peace Award Special Prize oleh Yayasan Perdamaian Jeju 3 April karena pembelaannya pada kelompok minoritas dan tertindas.
Harapan besar anak muda NU disandarkan kepada Imam Aziz saat ia terpilih menjadi salah satu Ketua di jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pada 2010 lalu. Totalitas kiai Imam Aziz, terbukti sejak menjadi aktivis muda NU hingga sekarang dipercaya menjadi Ketua Panitia Nasional Muktamar NU ke-33 di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Kiai Imam Aziz yang dikenal sebagai figur yang sederhana dan bersahaja seperti halnya KH Sahal Mahfudz. Bahkan ia dikenal sebagai santri kesayangan di Ponpes milik Mbah Sahal, di Kajen, Pati, Jawa Tengah tersebut.
Kiai Imam Aziz, menjadi figur yang menarik untuk terus menjadi bagian dari PBNU. Apalagi untuk menjawab tantangan-tantangan jamiyah NU ke depan, yang sejak Muktamar ke-33 telah mengusung pembumian “Islam Nusantara” di Indonesia bahkan akan didakwahkan di dunia.