
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu persoalan yang hampir tejadi di belahan dunia bahkan di Indonesia. Dalam konteks indonesia, sebagaimana mengutip dari Survei SEHATI yang dilakukan di Purworejo, Jawa Tengah, tahun 2001/2002 menunjukkan 27 % dari 765 perempuan mengaku pernah mendapatkan kekerasan fisik dan/atau seksual dari suaminya. Survei IMAGES (International Men and Gender Equality Survey) terhadap 2.500 lebih laki-laki yang dilakukan di tiga wilayah di Indonesia, Jakarta, Purworejo dan Jayapura pada tahun 2012/2013 menunjukkan bahwa 25,7 % – 60,2 % laki-laki mengaku pernah melakukan kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan pasangan intimnya. Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang dihimpun dari berbagai lembaga layanan di Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2014 mencatat kasus KTP setiap tahunnya dengan kecenderungan jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 3.169 kasus pada tahun 2001 menjadi 293.220 pada tahun 2014. Sebagian besar atau lebih dari 90 % kasus KTP tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga atau relasi personal (KDRT/RP), dan selebihnya merupakan kasus Non KDRT/RP, yaitu kasus KTP yang terjadi dalam ranah komunitas atau ranah negara.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak difabel ditengarai disebabkan oleh berbagai faktor dari level individu, keluarga, masyarakat, hingga negara (L. Heise, 1998). Adanya konsep menjadi laki-laki yang dianggap dominan bahkan memiliki kedudukan lebih (Superior), sedangkan perempuan diidentikkan memiliki kelemahan, ketergantungan, inferiorritas dan sebagainya. Keyakinan di sebagian masyarakat yang memegang kuat peran gender tersebut juga seringkali terlembagakan, sehingga mempengaruhi pola, sikap, hubungan yang cenderung hierarkhis menyebabkan adanya relasi yang tidak setara yang didasarkan atas kuasa (power over). Situasi relasi yang seperti ini menjadikan perempuan dan anak diffabel rentan mengalami terjadinya kekerasan.
Bahkan, mereka seringkali mengalami diskriminasi sepeti pelabelan negatif, menyalahkan korban yang berdampak terhadap psikis, hingga fisik korban.
Pada situasi tersebut, perempuan termasuk difabel yang mengalami kekerasan perlu mendapat layanan pertolongan yang aman dan supportif. Dalam catatan pendampingan Rifka Annisa, kekerasan seksual merupakan bentuk kasus dengan korban difabel yang sering ditangani. Dari beberapa kasus yang ditangani oleh Rifka Annisa menunjukkan bahwa mayoritas pelakunya adalah orang terdekat korban seperti ayah, paman, kakak dan tetangga.
Dalam rangka pemulihan korban, dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitar menjadi sangat penting dalam membantu proses penanganan korban, namun hambatan yang kadang kita temukan adalah dari keluarga dekat serta lingkungan sekitar yang cenderung menyembunyikan kasus yang menyebabkan kasus tidak langsung dilaporkan kepada pengada layanan maupun pihak berwajib. Meskipun, ada pula keluarga atau masyarakat sekitar yang sudah peduli dan mengkaseskan korban pada layanan yang bisa dijangkau di daerahnya.
Dalam konteks Rifka Annisa, pendampingan terhadap perempuan dan anak difabel korban kekerasan mencakup layanan pendampingan psikologis dan hukum, maupun konseling keluarga. Layanan pendampingan yang diberikan dapat melalui penjangkauan ke rumah korban (Out Reach) atas dasar laporan korban/keluarga/masyarakat atau melalui pengada layanan seperti FPK2PA (Forum Perlidungan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak) di daerah. Layanan lain yang saling berkaitan adalah kerja pengorganisasian masyarakat dan advokasi (di level masyarakat hingga negara) serta adanya riset dan pelatihan yang membuat kerja penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin terintegrasi berdasarkan kerangka pikir ekologis.
B. Tujuan
1. Memberikan pemahaman terkait Akar penyebab, dampak, karakteristik korban dan pelaku, teknik pendampingan kekerasan terhadap perempuan dan anak difabel.
2. Berbagi pengalaman pendampingan perempuan dan anak difabel di masing-masing daerah, lembaga.
3. Peserta menyusun rekomendasi sebagai tindak lanjut atas diskusi pendampingan perempuan, dan anak difabel korban kekerasan.
C. Output
1. Adanya pemahaman terkait Akar penyebab, dampak, karakteristik korban dan pelaku, teknik pendampingan kekerasan terhadap perempuan dan anak difabel
2. Adanya sharing pengalaman pendampingan atau kasus antar peserta
3. Adanya rekomendasi sebagai tindak lanjut kegiatan temu inklusi maupun pendampingan di daerah atau lembaga masing-masing.
D. Waktu dan Tempat
Sebagaimana terlampir di jadwal kegiatan panitia
E. Fasilitator
Sesi tematik ini akan difasilitasi oleh Lisa Oktavia, S.H. dari Rifka Annisa WCC.
Unduh TOR Workshop Tematik “Perempuan dan Difabel Anak Korban Kekerasan